Minggu, 05 Februari 2012

Empat Lelaki dan Perempuan Tanpa Indung Air Mata



S
ebenarnya Pligi tidak suka lelaki yang menangis. Tapi bagaimana lagi, sepertinya ini menjadi kutukan hidup baginya. Ketika ayahnya memperkosanya, lelaki itu melumat senti demi senti tubuhnya dengan air mata sambil memaki serampangan. Bukan kepada dirinya, tetapi kepada orang lain. Bahkan itu bukan makian untuk ibunya.

“Sialan, kau janda kurang ajar. Seharusnya kamu menservisku seperti ini!”

Dan tentu dengan mulut berbau pesing bir, yang mungkin juga tumpah di sekujur tubuh ayahnya. Baunya yang menyengat, menguar tanpa ampun. Tubuh Pligi kaku. Saat itu merupakan saat yang paling menyakitkan. Pertama kali, dialaminya rasa sakit itu tanpa linangan air mata. Sesudahnya, Pligi tak pernah lagi punya air mata untuk setiap rasa sakit itu. Ia telah berjanji tak akan pernah mengeluarkan air mata sedikit pun untuk lelaki.
***
Sahabat Pligi saat sahabatnya di sekolah menyadari, Pligi jadi pemurung. Ia mencoba menanyai Pligi, mengapa ia bersikap seperti itu. Sahabatnya tak pernah tahu cerita soal Pligi dan ayah Pligi sebenarnya. Namun, beberapa memar di tangan dan kesakitan yang kerap kali terlihat, mengatakan lebih banyak kisah daripada sekadar air mata. Air mata yang tak mungkin bisa dikeluarkan oleh Pligi, karena Pligi telah bersumpah. Tak pernah lagi punya air mata untuk sakitnya.
Sahabat lelakinya itu selalu setia mengantarkan Pligi ke klinik sekolah, mengoleskan salep anti bengkak dan akhirnya mencoba menasehati Pligi untuk dapat percaya kepadanya.
“Bagimu, mungkin aku bukan teman yang baik. Tapi setidaknya aku coba menjadi teman yang kamu percaya. Kamu cerita, ya Ia memohon.
Namun, Pligi hanya menggeleng dan mengatakan semua baik-baik saja. Ia tidak mengeluarkan air mata, tetapi justru sahabatnyalah yang berlinang. Bagi Pligi, air mata yang keluar dari indung sahabatnya itu jauh lebih perih dibandingkan perih ketika sahabatnya mengoleskan salep memar ke bagian tubuhnya yang bengkak.  
Bahkan saat sahabatnya itu mengungkapkan rasa cintanya kepada Pligi, sahabatnya juga mengeluarkan air mata. Pligi menolak ungkapan cinta sahabatnya, dan merespon ungkapan cintanya pendek saja
“Sungguh, aku bukan perempuan yang sebenar-benarnya kaucintai. Dan aku berharap bukan aku. Kau pantas mendapatkan orang yang lebih baik.”
***

“Aku sudah terlanjur mencintaimu, tetapi rasanya  aku tak sudi menjamah tubuhmu.”

Pligi memutuskan membuka masa kelamnya, ketika mantan tunangan memintanya jangan pergi. Ia bercerita bahwa dirinya pernah diperkosa ayahnya. Luruhlah air mata dari kunang-kunang mata lelaki itu. Bercampur dengan rasa marah, dan tidak terima atas perlakuan ayah Pligi kepada Pligi, ia bahkan mengucap serapah akan membunuh ayah Pligi.
Semakin banjir kekecewaan mantan tunangannya itu, ketika Pligi telah beberapa kali diajaknya berkeliling penjuru negeri asing yang belum pernah ia kunjungi. Semacam membuang uang sia-sia kepada boneka yang bahkan baju yang disandangnya sudah koyak.
Di titik ini tumbuh sodetan besar di hati Pligi. Padahal, Pligi telah merasa yakin mantan tunangannya itu dapat menerima keadaannya, tulus. Nyatanya tidak.
Pligi tetap berdiri kaku. Sudah kering air matanya.
***

“Kamu masih punya air mata,” tanya Pligi memberanikan diri, suatu ketika, saat ia bertemu kembali dengan sahabat sekolahnya di sebuah gedung pertunjukan teater secara tak sengaja.
Sahabatnya itu tersenyum, dan menjawab, masih, apalagi, ketika mungkin suatu waktu Pligi menginginkannya kembali untuk mengoleskan obat anti bengkak di memarnya bila hal itu terjadi lagi, begitu jawab sahabatnya.
Pligi mengajak sahabatnya ke sebuah rumah sakit. Setelah mengajaknya masuk ke sebuah kamar dan melihat kondisi ayahnya, Pligi mengajaknya keluar.
“Kau percaya, orang yang kautemui itu ayahku,” tanya Pligi.
Ayah Pligi dirawat, tubuhnya renta, tulangnya sudah banyak yang rapuh. Jangankan untuk berdiri, untuk duduk pun rasanya tak kuasa. Pligi yang merawatnya. Sahabatnya mengangguk.
“Kau percaya, bahwa lelaki itu yang dulu membuatmu harus bekerja keras mengoleskan obat anti bengkak di tanganku?”
Sahabatnya kali ini hanya memandang Pligi. Dan seperti yang sudah-sudah, lelaki itu mengeluarkan air mata di depannya. Sementara, Pligi tidak.
***

Pligi tak bisa lagi mengelak, sahabatnya mengenalkannya dengan seorang lelaki yang pada akhirnya akan ia cintai. Sementara. Lelaki itu bercerita dengan jujur kemudian. Meski ia tidak begitu mencintai lelaki itu tetapi ia luluh.
“Kau mirip sekali dengan adikku,” katanya.
Raut sang adik yang ternyata sangat mirip dengan garis muka milik Pligi. Raut yang ternyata telah terenggut juga dari keluarga lelaki itu karena penyakit jantung bahkan saat ia masih remaja.
Ketika Pligi terbaring di rumah sakit, dan ia harus menjalani terapi kanker, lelaki itulah yang menunggui saat Pligi koma. Bahkan rela jauh-jauh datang dari luar negeri untuk sekedar menungguinya. Mengeluarkan air mata ketika ia melihat slang-slang yang mengait, atau luka-luka bekas operasi yang bahkan tidak pernah didengarnya dari Pligi tetapi dari adik Pligi. Ia juga mengeluarkan air mata, ketika melihat berapa banyak obat yang harus diminum Pligi setiap harinya, setiap lima sampai enam jam sehari.
Lelaki itu berkata,”Kau begitu mirip dengan adikku.”
Keluarga lelaki itu juga sangat menyayangi Pligi. Pligi dianggapnya keluarga sendiri. Pligi sangat dekat dengan ibu lelaki itu. Setiap Pligi datang dimasakkannya masakan kesukaan adik lelaki itu. Pligi merasa ia dianggap sebagai adik perempuan lelaki itu. Hingga, keluarga lelaki itu tahu Pligi punya sakit.
Suatu ketika saat Pligi terbaring, dan ibu lelaki itu menjenguk, ia mendengar igau ibu lelaki itu menyebut sebuah nama. Nama anaknya. Nama anak perempuannya. Nama adik lelaki itu. Nama adik perempuan lelaki itu, yang sudah mati. Pligi sadar, ia tidak suka, ia tidak mau dikait-kaitkan dengan seseorang yang bukan dirinya. Pligi membencinya.
***

Pligi telah kehilangan air mata, yang ada hanya sesak. Ia kini jatuh cinta. Tidak hanya luluh. Tapi benar-benar jatuh cinta. Lelaki itu juga mengeluarkan air mata untuknya. Lelaki itu bukan ayahnya, bukan sahabat laki-lakinya, bukan mantan tunangannya. Pligi menyebutnya kekasihnya.
Lelaki itu mengeluarkan air mata saat mendengar sakitnya. Ia rela datang sebentar dari ujung negeri ke kota Pligi hanya untuk menjenguknya. Lelaki itu setiap malam mendongengkan sebuah hikayat tentang perempuan-perempuan terkuat dari negerinya, apabila sakitnya Pligi sudah sangat, atau ketika Pligi bosan diserbu keinginan-keinginan untuk mati setiap hari.
Lelaki ini, yang bahkan tak tahu menahu tentang ayah Pligi, sahabat lelaki Pligi ataupun mantan tunangan Pligi, mengiriminya sebongkah paket  kebaikan yang tidak biasa, saat Pligi merasa dirinya tak ingin dikasihani orang. Bahkan sebelum lelaki itu tahu, Pligi sepertinya perempuan yang hanya patut dihujani rasa kasihan dan bukan cinta.
Lelaki ini bahkan punya mimpi yang sama dengan mimpi Pligi. Sajak yang senada dengan sajak Pligi. Irama yang sama dengan irama Pligi. Dan yang lebih utama lelaki ini mempunyai aroma khas yang selalu dirindui Pligi. Meski di awal, lelaki ini membuat Pligi muak dengan kecintaannya kepada orangtuanya dan mantan kekasihnya.
Dan Pligi memang hanya ingin mendengarkan saja dongeng-dongengnya. Kadang, bahkan cerita segetir apa pun ingin Pligi dengarkan juga apabila itu keluar dari bibir lelaki itu, dan itulah yang sekedar menjadi pengalihan sementara sakit atau pikiran-pikiran tentang menyudahi hidup Pligi.
“Keluargaku habis dibantai ombak dalam suatu pagi yang kuanggap biasa,” cerita lelaki itu.
Pligi mencintainya tanpa tahu bagaimana, atau kapan, atau dari mana. Pligi mencintainya dengan lugas, tanpa banyak soal atau rasa bangga. Begitulah, Pligi mencintai lelaki itu, karena Pligi tahu tak ada jalan lain selain mencintainya.
Namun sepertinya Pligi menjadi ingin mengetahui perasaan lelaki itu kepadanya. Lelaki itu menjawab dengan jawaban yang Pligi benci, karena mengingatkan Pligi kepada mantan tunangannya dahulu.
“Kamu mirip sekali dengan adikku.”
Seperti sebelumnya, Pligi akan mundur dengan teratur, dan menolak berhubungan kembali dengan lelaki. Dan kali ini pun tetap sama, meski Pligi bersedih, tetapi tetap tanpa mengeluarkan air mata.[]

Sabtu, 28 Januari 2012

Pertandingan Asing


Pligi tak pernah suka dengan pertandingan sepak bola. Bahkan meski Oneiro kekasihnya sangat menggilai pertandingan itu. Ia sendiri pun sepertinya sudah bertindak di luar kesadarannya, saat tiba-tiba ia memesan tiket menonton pertandingan sepak bola di suatu stadion. Bayangkan, tidak dari layar televisi atau mendengarkan siaran radio, namun dari stadion.

Pligi kebetulan mendapat tempat duduk sisi yang kosong, padahal sisi yang lain ramai penonton. Sebuah plang reklame memajang tagline produk berbunyi “No One Like Me” lengkap dengan tanda panah seakan menunjuk padanya, menambah perasaan asing.

“Kalau kita lagi nonton bola, sepertinya terasa hilang aja tuh kesepian.” jawab Oneiro suatu ketika saat Pligi menanyakan alasannya menjadi penggila bola.

Anehnya Pligi tidak merasakan kenikmatan seperti yang dikatakan Oneiro. Apakah Oneiro berbohong padanya? Dulu Oneiro tidak pernah berbohong padanya. Hal terkecil pun disampaikan jujur. Lalu, bila ini jadi sesuatu yang teramat penting bagi Oneiro, mengapa Pligi tidak bisa mengamini kata-kata Oneiro?

Setengah mainan dan skor sudah menjelma 1-1. Orang-orang sudah mulai meregangkan syarafnya memesan sekedar hotdog atau Cola. Namun, Pligi masih mematung sendiri. Seperti ada yang hilang koneksi antara dia dan ruang yang didiaminya.

Hingga, kemudian saat habis pertandingan skor 2-1, dengan perasaan hambar Pligi meninggalkan stadion, dan merutuk Oneiro ternyata juga bisa menipunya.

sby, 28082011